Bantul, 5 Desember 2024 – Program Magister Manajemen Bencana Universitas Gadjah Mada (MMB UGM) menggelar kuliah lapangan di Kabupaten Bantul untuk menggali lebih dalam tentang dampak bencana terhadap ketahanan sosial dan ekonomi masyarakat. Kegiatan ini diadakan di dua lokasi, yakni Dusun Semampir, Panjangrejo, Pundong, serta Dusun Plumbungan, Sumbermulyo, Bambanglipuro. Sebanyak 12 mahasiswa angkatan 2023 dan 2024 turut serta dalam kegiatan ini di bawah bimbingan Dr. Ir. Dina Ruslanjari, M.Si., Kepala Program Studi MMB UGM.
Kuliah lapangan ini dirancang untuk memberikan pemahaman nyata kepada mahasiswa mengenai dinamika yang dihadapi masyarakat pascabencana. "Mahasiswa perlu melihat langsung bagaimana bencana berdampak pada sektor sosial dan ekonomi, sehingga mereka dapat memahami keterkaitan antara kebijakan bencana dan kehidupan sehari-hari masyarakat," ujar Dr. Dina. Pendekatan ini diharapkan dapat memperkuat keterampilan analisis mahasiswa dalam memahami tantangan dan peluang di lapangan.
Dusun Semampir: Tradisi Gerabah yang Berjuang Melawan Waktu
Di Dusun Semampir, mahasiswa berinteraksi langsung dengan Bu Eko, satu-satunya pengrajin gerabah yang masih aktif. Ia merupakan generasi terakhir dari keluarga pengrajin di desa ini. Tradisi membuat gerabah telah berlangsung turun-temurun, namun kini terancam punah karena minimnya penerus. "Anak-anak saya memilih bekerja di pabrik atau berdagang di Pantai Depok, sehingga tidak ada yang melanjutkan usaha ini," kata Bu Eko dengan nada sedih.
Bu Eko menjelaskan bahwa puncak penjualan gerabah terjadi saat pandemi COVID-19 dan pascagempa Bantul. Kala itu, permintaan alat rumah tangga meningkat drastis, dengan penjualan mencapai 2.000 unit per minggu. Namun kini, produksi menurun hingga hanya 100 unit per minggu, bahkan dalam beberapa bulan terakhir tidak ada penjualan sama sekali. Satu-satunya saluran distribusi mereka adalah pasar di Wonosari. "Kami tidak tahu penyebab pastinya, tapi permintaan terus menurun, dan kami tidak punya alternatif pasar lain," ujarnya.
Baca juga:
- Anggaran Bencana Disunat? Relawan adalah Solusi?
- Antisipasi Bencana hidrometeorologi saat Pemilu, BPBD Siagakan Personel 24 Jam
- APA ITU PERUBAHAN IKLIM?
Proses pembuatan gerabah masih dilakukan secara tradisional. Bahan baku berupa tanah dari sawah, pasir Pantai Depok, serta tanah liat dari Gunung Kidul dicampur, digiling, dibentuk menggunakan alat putar (perbot), dan dijemur sebelum dibakar selama dua jam. Proses ini tidak hanya berat secara fisik, tetapi juga membawa risiko kesehatan. "Asap dari pembakaran sering menyebabkan infeksi saluran pernapasan pada anak-anak," tambah Bu Eko. Bahkan, pernah terjadi kebakaran yang merusak atap rumah karena proses pembakaran yang tidak terkendali.
Faktor cuaca juga menjadi tantangan besar. Musim hujan membuat proses penjemuran sulit, sementara banjir Kali Winongo pada 2019 sempat menghentikan produksi. Tanpa produksi, Bu Eko bergantung pada anak-anaknya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Meski demikian, ia tetap berjuang mempertahankan tradisi ini agar tidak punah.
Dusun Plumbungan: Kampung Anggur sebagai Inovasi Ekonomi Berkelanjutan
Selanjutnya, mahasiswa mengunjungi Dusun Plumbungan yang terkenal dengan Kampung Anggur. Budidaya anggur dimulai pada 2016 atas prakarsa Pak Rio dan didukung kelompok PKK. Awalnya, warga bekerja sebagai petani dan buruh pabrik. Meski sempat diragukan, keberhasilan kelompok PKK membudidayakan anggur mengubah wajah dusun ini. Kini, hampir setiap rumah memiliki tanaman anggur.
Menurut Bu Bardi, salah satu warga, Kampung Anggur pernah mencapai masa kejayaan sebelum pandemi. "Dulu, banyak media meliput, dan wisatawan datang untuk membeli buah dan bibit anggur. Namun sejak pandemi, kunjungan dan penjualan menurun drastis," jelasnya. Buah anggur dijual seharga Rp100.000 per kilogram, sementara bibit dihargai antara Rp150.000 hingga Rp1,5 juta. Namun, penurunan permintaan menyebabkan harga bibit ikut anjlok.
Baca juga:
- Resensi Buku “Dibawah Bayang-Bayang Perang” karya Dr. Kusuma, M.Si.
- Kampanye Kesiapsiagaan Nasional
- Waspada! Bendung Katulampa Siaga 1, Potensi Banjir Mengancam Jakarta
Selain buah, Kampung Anggur juga memanfaatkan limbah organik untuk diolah menjadi ekoenzim. Produk ini digunakan sebagai pupuk dan masker wajah, memberikan nilai tambah bagi warga. "Kami juga saling mendukung dalam pembibitan dan penjualan, sering menitipkan produk ke tetangga jika ada kesulitan menjual," tambah Bu Bardi.
Namun, cuaca ekstrem menjadi tantangan tersendiri. Curah hujan tinggi membuat buah anggur lembap dan rentan busuk. Meski demikian, budidaya ini telah memberikan kontribusi signifikan terhadap ketahanan pangan warga. Daun anggur diolah menjadi keripik dan sayur, sementara sebagian warga memadukan budidaya anggur dengan ikan lele untuk memperkuat ekonomi keluarga. "Meskipun ini usaha sampingan, manfaatnya sangat besar bagi kesejahteraan warga," kata Bu Bardi.
Pengalaman Lapangan yang Berharga
Melalui kuliah lapangan ini, mahasiswa tidak hanya belajar memahami dinamika sosial-ekonomi, tetapi juga merasakan langsung perjuangan warga dalam menghadapi tantangan pascabencana. Mereka diajak menganalisis bagaimana kebijakan bencana dapat disusun berdasarkan realitas di lapangan.
“Pengalaman ini memperkuat kemampuan mahasiswa dalam melakukan observasi, wawancara, dan analisis data, yang sangat berguna untuk penelitian kebijakan di masa depan,” ujar Dr. Dina. Sebagai tindak lanjut, mahasiswa akan menyusun laporan dan mempresentasikan hasilnya di kelas. Diharapkan, rekomendasi mereka dapat menjadi masukan berharga bagi pengembangan kebijakan bencana di Indonesia.
By Redaksi KlikBencana