Ketika bencana terjadi, dampaknya tidak hanya berupa kerugian fisik dan material tetapi juga trauma psikologis yang mendalam bagi para penyintas. Dalam situasi seperti ini, banyak bantuan yang terfokus pada pertolongan pertama fisik (P3K) untuk menangani luka-luka fisik atau cedera tubuh. Namun, yang seringkali terlupakan adalah perlunya pertolongan pertama psikologis (PFA). Pendekatan ini dirancang untuk membantu korban bencana dalam mengelola stres dan emosi yang muncul akibat trauma, serta memberikan mereka dukungan untuk pulih secara emosional dan psikologis.
Psychological First Aid (PFA) atau pertolongan psikologis pertama dirancang sebagai intervensi awal yang dilakukan segera setelah terjadinya bencana, yang umumnya pada fase tanggap darurat. PFA dilakukan untuk mengurangi rasa cemas, bingung, dan putus asa pada korban bencana yang mengalami keterkejutan dan terguncang oleh situasi yang sangat tidak terduga. Dengan memberikan pertolongan pertama psikologis, kita memberikan ruang bagi korban untuk merasakan dukungan sosial yang sangat mereka butuhkan.
Baca juga :
Menurut Sphere Handbook (2011) dan Inter-Agency Standing Committee (IASC) (2007), PFA adalah bentuk respons manusiawi dan suportif yang ditujukan untuk membantu individu yang sedang menderita atau membutuhkan dukungan psikologis. Pendekatan ini tidak hanya berfokus pada mengatasi trauma secara langsung, akan tetapi juga memberikan rasa aman, kenyamanan, dan harapan kepada korban bencana. Tindakan PFA penting untuk memberikan bantuan kepada para korban yang mengalami trauma akibat peristiwa bencana. Saat tanggap darurat menjadi momentum krusial karena pada umumnya proses traumatik terbentuk karena menyaksikan dampak yang luar biasa akibat bencana. Untuk itu, Tindakan PFA dapat diberikan untuk mengurai kecemasan psikologis pada korban bencana.
Tujuan utama dari PFA adalah untuk menciptakan dan mempertahankan lingkungan yang memberikan keamanan, ketenangan dan kenyamanan, keterhubungan, pemberdayaan diri, dan harapan. Kelima elemen ini adalah pondasi bagi setiap individu untuk mengelola stres, melawan kecemasan, dan merasa lebih siap menghadapi tantangan yang ada. Ketika seseorang merasa aman, tenang, dan terhubung, mereka memiliki peluang yang lebih besar untuk pulih dan berkembang, meskipun mereka berada dalam kondisi yang sangat sulit.
Salah satu aspek terpenting dari PFA adalah pendengaran aktif dan empati. Ketika seseorang berhadapan dengan trauma, mereka membutuhkan untuk didengarkan dengan penuh perhatian. Dalam situasi bencana, banyak korban yang merasakan perasaan bersalah, merasa kehilangan arah hidup, atau bahkan merasa bahwa mereka tidak lagi dapat mempercayai orang lain atau dunia di sekitar mereka. Tindakan PFA dapat membantu mereka menyadari bahwa perasaan-perasaan ini adalah respons alami terhadap bencana dan bahwa mereka tidak sendirian dalam perasaan tersebut.
Baca juga:
- Urgensi Ruang Literasi Digital Informasi Kebencanaan
- Indonesia di Peringkat Kedua Risiko Bencana Dunia: Pendidikan Bencana di Sekolah Mendesak Diterapkan
Teknik ekspresif, seperti yang diterapkan pada korban bencana gempa di Sulawesi Barat, adalah salah satu pendekatan yang efektif dalam PFA. Teknik ini memungkinkan korban untuk mengekspresikan perasaan mereka dengan cara yang aman dan konstruktif, seperti menggambar, teater playback, atau kegiatan pelepasan emosi lainnya. Metode-metode ekspresif ini membantu korban untuk menciptakan narasi baru terkait peristiwa traumatis yang mereka alami, memulihkan rasa kontrol atas hidup mereka, serta mendapatkan dukungan dari orang-orang di sekitar mereka. Selain itu, teknik ekspresif juga efektif untuk mengurangi ketegangan emosional dan memberi kesempatan pada korban untuk melepaskan perasaan yang terkekang, yang bisa berpotensi mengurangi risiko gangguan psikologis jangka panjang, seperti PTSD (Post-Traumatic Stress Disorder).
By Redaksi Klikbencana.com