Indonesia menghadapi tantangan besar dalam menghadapi dampak bencana yang semakin kompleks. Perubahan iklim global, urbanisasi yang tidak terkendali, dan lemahnya mitigasi di beberapa wilayah menjadi faktor yang memperburuk risiko. Indonesia kembali menghadapi tantangan besar di tahun 2024 dengan tingginya angka kejadian bencana alam yang terjadi di berbagai wilayah. Berdasarkan data dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) hingga 23 November 2024, tercatat sebanyak 1.814 kejadian bencana alam di seluruh Indonesia. Bencana hidrometeorologi, seperti banjir, cuaca ekstrem, tanah longsor, dan kekeringan, mendominasi dengan persentase mencapai 98,79% dari total kejadian. Sebagai negara kepulauan dengan kondisi geografis yang kompleks, Indonesia rentan terhadap berbagai jenis bencana, baik yang bersumber dari aktivitas geologi maupun hidrometeorologi. Data ini menunjukkan bahwa dampak dari perubahan iklim global dan kerentanan wilayah semakin memperbesar risiko bencana di masa mendatang.
Baca Juga :
- Urgensi Ruang Literasi Digital Informasi Kebencanaan
- Indonesia di Peringkat Kedua Risiko Bencana Dunia: Pendidikan Bencana di Sekolah Mendesak Diterapkan
Dampak bencana sepanjang tahun 2024 ini dirasakan oleh jutaan masyarakat, dengan total korban terdampak mencapai 5.112.689 orang. Selain itu, sebanyak 407 orang meninggal dunia, 54 orang dilaporkan hilang, dan 1.002 orang mengalami luka-luka akibat berbagai kejadian bencana. Tidak hanya korban jiwa, kerusakan infrastruktur pun sangat signifikan, dengan total 53.528 unit rumah rusak, yang terdiri atas 8.468 rumah rusak berat, 10.810 rumah rusak sedang, dan 34.250 rumah rusak ringan. Infrastruktur publik seperti satuan pendidikan, rumah ibadah, fasilitas kesehatan, dan jembatan juga tak luput dari dampak bencana ini. Kerusakan terhadap fasilitas-fasilitas tersebut menunjukkan bahwa dampak bencana tidak hanya dirasakan secara individu, tetapi juga memengaruhi akses masyarakat terhadap layanan dasar yang vital.
Distribusi kejadian bencana ini tersebar di seluruh wilayah Indonesia, dengan konsentrasi tertinggi berada di Pulau Jawa. Provinsi Jawa Tengah mencatat jumlah kejadian tertinggi, yaitu sebanyak 247 kejadian, diikuti oleh Jawa Timur dengan 178 kejadian. Sementara itu, di luar Jawa, Sulawesi Selatan menjadi wilayah dengan jumlah kejadian tertinggi sebanyak 100 kejadian, disusul oleh Sumatera Utara dan Aceh masing-masing dengan 93 dan 72 kejadian. Tingginya angka kejadian di Pulau Jawa dapat dikaitkan dengan tingginya populasi dan aktivitas pembangunan yang meningkatkan risiko banjir, tanah longsor, dan cuaca ekstrem. Namun, wilayah di luar Jawa juga menghadapi ancaman yang serius, sehingga penanganan bencana harus dilakukan secara merata di seluruh wilayah dengan mempertimbangkan karakteristik lokal.
Jenis bencana yang paling sering terjadi sepanjang tahun 2024 adalah banjir, dengan total 890 kejadian. Cuaca ekstrem berada di posisi kedua dengan 396 kejadian, disusul oleh kebakaran hutan dan lahan (karhutla) sebanyak 335 kejadian. Meskipun jumlah kejadian gempa bumi dan erupsi gunung berapi lebih rendah, yaitu masing-masing 17 dan 5 kejadian, dampaknya tetap signifikan, terutama bagi masyarakat yang tinggal di wilayah rawan geologi. Selain itu, kekeringan juga menjadi ancaman nyata dengan 54 kejadian yang dilaporkan, menunjukkan adanya perubahan pola hidrologis yang dipengaruhi oleh perubahan iklim global. Gelombang pasang dan abrasi yang terjadi sebanyak 12 kali juga memberikan dampak besar terhadap masyarakat pesisir yang sebagian besar bergantung pada hasil laut untuk mata pencaharian.
Baca Juga:
- Anggaran Bencana Disunat? Relawan adalah Solusi?
- Antisipasi Bencana hidrometeorologi saat Pemilu, BPBD Siagakan Personel 24 Jam
Melihat data tersebut, diperlukan langkah mitigasi yang lebih sistematis untuk mengurangi dampak bencana di masa depan. Salah satu langkah utama yang harus dilakukan adalah memperkuat sistem peringatan dini (early warning system) yang berbasis teknologi, sehingga masyarakat dapat bersiap lebih awal sebelum bencana terjadi. Selain itu, edukasi kebencanaan perlu ditingkatkan, terutama di sekolah-sekolah, untuk menanamkan budaya sadar bencana sejak dini. Kerja sama lintas sektor juga menjadi kunci keberhasilan, melibatkan pemerintah, masyarakat, akademisi, sektor swasta, dan media dalam pendekatan pentahelix untuk pengurangan risiko bencana. Dengan demikian, upaya mitigasi dan penanganan bencana dapat dilakukan secara holistik, melibatkan seluruh elemen masyarakat. Dengan data tahun 2024 ini, diharapkan pemerintah dapat merumuskan kebijakan yang lebih strategis dan berorientasi pada pengurangan risiko. Investasi dalam infrastruktur tahan bencana, pelatihan bagi petugas, dan pemberdayaan masyarakat lokal menjadi langkah penting untuk membangun ketangguhan terhadap bencana di masa depan.
By Redaksi Klikbencana.com