Indonesia adalah negara yang berada di jalur Cincin Api Pasifik, menjadikannya sangat rentan terhadap berbagai bencana alam seperti gempa bumi, tsunami, banjir, tanah longsor, hingga letusan gunung berapi. Data BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana) menunjukkan bahwa tidak ada satu pun kabupaten atau kota di Indonesia yang benar-benar aman dari risiko bencana. Namun, isu krusial ini sering luput dari perhatian dalam kontestasi politik, baik di tingkat pemilihan umum (pemilu) maupun pemilihan kepala daerah (pilkada). Padahal, dampak bencana bisa sangat luas, mulai dari melumpuhkan aktivitas ekonomi, menghancurkan infrastruktur, hingga memengaruhi kualitas hidup masyarakat.
Sayangnya, sebagian besar calon kepala daerah belum menjadikan isu bencana sebagai prioritas dalam visi dan misi mereka. Fokus pembangunan sering kali hanya terpusat pada aspek fisik seperti pembangunan infrastruktur atau peningkatan ekonomi tanpa mempertimbangkan risiko bencana. Padahal, bencana yang tidak terkelola dengan baik dapat menghapus capaian pembangunan bertahun-tahun dalam sekejap. Gempa Cianjur 2022 menjadi contoh nyata, di mana ratusan nyawa melayang dan miliaran rupiah kerugian terjadi akibat kurangnya kesiapan dalam menghadapi bencana.
Baca juga:
- Anggaran Bencana Disunat? Relawan adalah Solusi?
- Antisipasi Bencana hidrometeorologi saat Pemilu, BPBD Siagakan Personel 24 Jam
Kepala daerah yang akan terpilih pada 2024 harus memahami potensi bencana yang ada di wilayahnya. Pemahaman ini penting agar kebijakan pembangunan yang diambil dapat sejalan dengan prinsip mitigasi bencana. Misalnya, di daerah rawan banjir seperti Jakarta, kebijakan pembangunan harus memperhatikan sistem drainase yang memadai, pengelolaan daerah aliran sungai, dan penataan wilayah yang memperhitungkan risiko bencana. Dengan cara ini, kepala daerah tidak hanya melindungi warganya tetapi juga memastikan pembangunan yang berkelanjutan.
Mengapa Dokumen Strategis Bencana Krusial?
Menurut UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, setiap daerah wajib memiliki dokumen Kajian Risiko Bencana (KRB) yang menjadi dasar dalam menyusun kebijakan mitigasi. KRB memungkinkan pemerintah daerah memahami ancaman spesifik, kerentanan, dan kapasitas wilayah dalam menghadapi bencana. Sayangnya, masih banyak daerah yang belum memiliki dokumen ini secara memadai. Tanpa kajian ini, kebijakan pembangunan rawan gagal karena tidak memperhitungkan potensi bencana.
Baca juga:
- Waspada! Bendung Katulampa Siaga 1, Potensi Banjir Mengancam Jakarta
- WASPADA BENCANA!! LIBUR AKHIR TAHUN DI YOGYAKARTA DAN JAWA TENGAH
Selain KRB, dokumen Rencana Penanggulangan Bencana (RPB) dan Rencana Penanggulangan Kedaruratan Bencana (RPKB) juga sangat penting. Dokumen-dokumen ini memberikan panduan bagi pemerintah daerah dalam merespons situasi darurat secara cepat dan efektif. Pengalaman penanganan bencana tsunami Palu 2018 menunjukkan betapa pentingnya kesiapan ini. Ketidaksiapan dokumen dan koordinasi yang lemah menyebabkan penanganan awal bencana menjadi kacau dan berdampak pada banyaknya korban.
Pentingnya BPBD yang Kuat dan Terlatih
Keberadaan BPBD (Badan Penanggulangan Bencana Daerah) menjadi elemen vital dalam pengelolaan bencana di daerah. BPBD harus dilengkapi dengan sumber daya manusia yang terlatih, peralatan yang memadai, dan anggaran yang cukup. Namun, masih banyak BPBD di berbagai daerah yang menghadapi keterbatasan, baik dari segi anggaran maupun personel. Padahal, BPBD adalah garda terdepan dalam penanggulangan bencana, mulai dari tahap mitigasi, respons, hingga rehabilitasi pascabencana.
Program simulasi bencana yang rutin dilakukan BPBD terbukti efektif meningkatkan kesiapsiagaan masyarakat. Sebagai contoh, simulasi evakuasi di Sleman, Yogyakarta, menjelang erupsi Gunung Merapi 2010 berhasil menekan jumlah korban jiwa. Hal ini menunjukkan bahwa kesiapan BPBD yang baik dapat menyelamatkan banyak nyawa dan mengurangi dampak bencana.
Isu Bencana dalam RPJMD: Keniscayaan bagi Pembangunan Berkelanjutan
RPJMD (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah) harus memuat isu bencana sebagai prioritas. Hal ini bukan hanya untuk memenuhi kewajiban hukum tetapi juga untuk memastikan pembangunan yang berkelanjutan. Pembangunan yang mengabaikan risiko bencana berpotensi gagal karena rentan terhadap gangguan. Misalnya, pembangunan jalan tanpa memperhatikan risiko longsor di daerah pegunungan dapat mengakibatkan kerusakan besar saat bencana terjadi. Dengan memasukkan isu bencana ke dalam RPJMD, daerah dapat mengalokasikan anggaran untuk mitigasi dan respons bencana secara terencana.
Rekomendasi untuk Pemimpin Daerah Terpilih
Pemilu dan Pilkada 2024 menjadi momentum penting untuk menjadikan isu bencana sebagai salah satu prioritas nasional. Para calon kepala daerah harus menyadari bahwa bencana bukan hanya ancaman bagi nyawa warganya tetapi juga ancaman bagi stabilitas dan perkembangan daerah. Setelah terpilih, langkah awal yang harus dilakukan adalah memperkuat BPBD, menyusun dokumen-dokumen strategis, dan mengintegrasikan mitigasi bencana ke dalam kebijakan pembangunan.
Pada akhirnya, pemimpin yang memahami pentingnya penanggulangan bencana adalah kunci bagi masa depan Indonesia yang lebih aman dan tangguh. Jika isu ini terus diabaikan, bencana akan terus menjadi ancaman yang menghambat kemajuan bangsa. Pemilu 2024 harus menjadi titik balik untuk menciptakan kepemimpinan yang peduli dan siap menghadapi tantangan bencana di masa depan.
Penulis

Muhamad Irfan Nurdiansyah
Head of Content Klikbencana.com