Hubungi
Mengatasi Dampak Bencana pada Anak-Anak

Anak-anak dan remaja merupakan kelompok usia yang paling rentan terdampak secara psikologis saat bencana terjadi. Menurut National Institutes of Health (2020), mereka memiliki risiko lebih tinggi untuk mengalami dampak trauma dibandingkan kelompok usia lainnya. Ekspresi mereka terhadap trauma tidak selalu terlihat secara langsung, namun gejala-gejalanya justru sering kali lebih mudah dikenali jika diperhatikan dengan saksama.

Reaksi ekstrim terhadap trauma anak-anak dapat muncul dalam berbagai bentuk, tergantung pada usia dan tingkat perkembangan anak. Beberapa gejala yang dapat diidentifikasi seperti gejala kecemasan, sulit tidur, kehilangan nafsu makan, atau menunjukkan perubahan perilaku seperti menjadi lebih agresif atau menarik diri. Gejala pada anak-anak prasekolah mengalami regresi, seperti kembali mengompol atau menunjukkan ketergantungan berlebihan pada orang tua. Sementara itu, remaja cenderung menunjukkan gejala seperti kemurungan, perasaan marah, atau bahkan perilaku berisiko lainnya.

Kerentanan psikologis yang terjadi pada anak-anak dipengaruhi oleh dengan beberapa faktor. Pertama, anak-anak belum memiliki mekanisme koping (penanganan stres) yang matang sebagaimana orang dewasa. Terdapat kebingungan dalam mengelola emosi yang berkecamuk.  Kedua, anak-anak belum mampu sepenuhnya memahami apa yang sedang terjadi, sehingga interpretasi mereka terhadap bencana dapat menciptakan rasa takut yang berlebihan atau salah persepsi. Ketiga, lingkungan yang tidak stabil setelah bencana seperti kehilangan rumah, teman, fasilitas bermain, keluarga, atau rutinitas sehari-hari dapat mempengaruhi kondisi emosional mereka.

Dampak Psikologis pada Anak Korban Bencana dengan Trauma Fisik

Dampak psikologis yang lebih berat dirasakan oleh anak-anak yang mengalami trauma fisik akibat bencana, seperti tertimpa bangunan atau kecelakaan terkait, menghadapi dampak psikologis yang jauh lebih berat. Selain harus menjalani pemulihan fisik yang berat, mereka juga berada dalam risiko mengalami trauma psikologis yang berkepanjangan.

Penelitian Engelbertus Nggalu Bali dkk. (2021) pada anak-anak korban badai Siklon Tropis Seroja di Nusa Tenggara Timur mengungkapkan betapa beratnya gejala trauma yang dialami oleh anak-anak tersebut. Di sekolah Alam Manusak, anak-anak menunjukkan tanda-tanda tekanan emosional seperti stres, kegelisahan, ketakutan, kecemasan, kemurungan, hingga emosi yang tidak stabil. Situasi semakin berat bagi anak-anak yang kehilangan orang tua, karena hilangnya figur pelindung yang menciptakan perasaan tidak aman dan terabaikan.

Di sisi lain, kerusakan fasilitas umum seperti sekolah juga memberikan dampak lanjutan terhadap anak-anak. Mereka tidak dapat melanjutkan pendidikan. Bukan hanya menghambat perkembangan intelektual, akan tetapi juga mempengaruhi kondisi psikologis mereka. Kehilangan rumah dan kehidupan normal memaksa anak-anak tinggal di posko pengungsian yang menyebabkan mereka berada dalam situasi abnormal. Lingkungan yang padat, penuh tekanan, dan minim fasilitas untuk anak menjadi pemicu stres. Semua faktor ini, bila tidak segera ditangani, berisiko memunculkan trauma berkepanjangan yang dapat terbawa hingga dewasa.

Terapi Bermain: Upaya Pemulihan Psikologis Anak Korban Bencana

Salah satu metode yang terbukti efektif untuk membantu memulihkan kondisi mental anak-anak adalah terapi bermain. Metode ini memberikan ruang bagi anak-anak untuk menjalani dunia bermain untuk mengekspresikan dan mengeksplorasi perasaan, pikiran, serta pengalaman traumatik yang mereka alami. Terapi bermain dirancang untuk membantu anak-anak korban bencana mengurangi gangguan psikologis seperti stres pasca-trauma. Melalui bermain, anak-anak diajarkan untuk menerima diri mereka sendiri, mengembangkan kemampuan mengendalikan diri, dan merasa bebas untuk mengekspresikan perasaan mereka.

Bagi anak-anak, bermain bukan sekadar aktivitas hiburan, tetapi juga cara utama untuk berkomunikasi, belajar, dan memahami realitas bencana yang mereka hadapi. Ketika kata-kata sulit diungkapkan, bermain memungkinkan anak-anak untuk mengekspresikan apa yang mereka rasakan dengan cara yang lebih alami dan spontan.

Melalui bermain, anak dapat menyalurkan rasa takut, marah, atau bingung yang mungkin sulit mereka ungkapkan secara verbal. Bermain membantu anak-anak memproses pengalaman traumatik mereka dengan cara yang lebih terstruktur, memungkinkan mereka membangun kembali rasa kontrol atas hidup mereka. Terapi bermain dapat diwujudkan melalui berbagai aktivitas seperti permainan simulasi (menggunakan boneka atau miniatur untuk mengungkapkan situasi dialami), kegiatan seni (melukis, menggambar, atau bermain dengan tanah liat), permainan fisik (berlari, melompat, atau menggunakan alat permainan besar).

Dengan terapi bermain, anak-anak korban bencana dapat diberdayakan untuk kembali menjalani masa kanak-kanak mereka secara normal dan mengurangi risiko trauma berkepanjangan. Dalam situasi sulit, bermain menjadi lebih dari sekadar kesenangan, sekaligus menjadi jembatan menuju penyembuhan psikologis. Meski demikian, penting untuk diingat bahwa anak-anak memiliki kapasitas untuk pulih jika mendapat dukungan dari seluruh pihak. Pendampingan dari orang tua, keluarga, atau profesional seperti psikolog dapat membantu mereka memahami dan mengatasi trauma dengan lebih cepat.

ABOUT AUTHOR

Co-Founder Klikbencana.com

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Home
Buku
Blog
Search
Cart
0