Sosiologi bencana merupakan kajian yang menyoroti bagaimana makna bencana terbentuk melalui proses konstruksi sosial. Maarif (2015) menjelaskan bahwa konstruksi sosial atas bencana sering kali berlangsung secara tertutup, menjadi bagian dari realitas yang diterima begitu saja (taken for granted). Dalam konteks ini, memahami sosiologi bencana berarti melihat bagaimana realitas bencana tidak hanya dipahami secara objektif, tetapi juga dibentuk melalui negosiasi makna di antara berbagai aktor dan kekuatan sosial. Hal ini penting untuk memastikan pendekatan penanggulangan bencana yang lebih komprehensif, dengan mempertimbangkan aspek sosial, budaya, dan struktural.
Konstruksi sosial terhadap bencana mencerminkan pendekatan analitik sosiologi bencana yang lebih kritis. Pendekatan ini menolak pandangan bahwa bencana semata-mata terjadi karena faktor alam. Sebaliknya, bencana dipahami sebagai hasil interaksi kompleks antara faktor alam dan ketimpangan dalam relasi kuasa manusia yang terlegitimasi di dalam kehidupan sosial masyarakat. Relasi kuasa ini melibatkan aspek-aspek struktural seperti masalah kebijakan, ketimpangan distribusi sumber daya, dan dinamika sosial-ekonomi yang menciptakan kerentanan di masyarakat.
Pandangan ini memperlihatkan bahwa bencana bukanlah peristiwa yang berdiri sendiri, melainkan fenomena sosial yang dipengaruhi oleh ketidakadilan dan ketimpangan sosial yang berjalan sistemik. Ketimpangan dalam akses terhadap pengetahuan, sumber daya, dan kekuasaan mendorong lahirnya bencana. Bencana terjadi karena arogansi dan eksploitasi secara besar-besaran terhadap sumber daya alam untuk memenuhi gaya hidup manusia yang mengakibatkan kerusakan ekologi dan mendorong krisis iklim yang pada akhirnya menyebabkan terjadi berbagai bencana. Di saat yang sama, arah kebijakan lingkungan justru tidak berpihak pada kelestarian lingkungan. Dalam hal ini, sosiologi bencana menjadi alat untuk menggali akar permasalahan yang lebih dalam dan melampaui analisis teknis semata.
Sosiologi mengajarkan bahwa bencana bukan sekadar fenomena alam, tetapi juga cerminan ketimpangan sosial, relasi kuasa, dan budaya. Oleh karena itu, program-program kebencanaan harus mencerminkan kebutuhan lokal, menghormati kearifan budaya, dan berangkat dari pemahaman mendalam tentang masyarakat yang terkena dampaknya
Melalui perspektif kritis ini, sosiologi bencana tidak hanya menawarkan cara pandang yang lebih mendalam dan komprehensif, tetapi juga membuka peluang untuk reformulasi kebijakan yang berbasis pada analisis fakta sosial. Kebijakan semacam ini harus mampu mengatasi akar masalah ketimpangan sosial dan mengintegrasikan pendekatan yang inklusif dalam pengurangan risiko bencana. Dengan demikian, pengelolaan bencana tidak hanya berfokus pada mitigasi dampak fisik, tetapi juga pada pembenahan struktur sosial yang menciptakan kerentanan dan ketimpangan.
Oleh karena itu, penanggulangan bencana seharusnya tidak hanya dipandang sebagai upaya teknis untuk mengurangi risiko, tetapi juga sebagai proses sosial yang melibatkan pemahaman mendalam tentang keberagaman perspektif dan respons masyarakat. Faktanya, setiap komunitas memiliki cara pandang, respons, dan pola adaptasi yang unik dan berbeda-beda terhadap bencana.
Inilah mengapa relevansi perspektif sosiologi memiliki titik temu. Sosiologi mengajarkan bahwa bencana bukan sekadar fenomena alam, tetapi juga cerminan ketimpangan sosial, relasi kuasa, dan budaya. Dengan pendekatan ini, kita dapat melihat bahwa solusi teknis saja tidak cukup. Oleh karena itu, program-program kebencanaan harus mencerminkan kebutuhan lokal, menghormati kearifan budaya, dan berangkat dari pemahaman mendalam tentang masyarakat yang terkena dampaknya.
- Anggaran Bencana Disunat? Relawan adalah Solusi?
- Antisipasi Bencana hidrometeorologi saat Pemilu, BPBD Siagakan Personel 24 Jam
- APA ITU PERUBAHAN IKLIM?
Dengan pemahaman ini, pendekatan sosiologi bencana dapat menjadi menjadi pedoman dalam penyusunan kebijakan dan strategi kebencanaan. Ketika kita memahami bahwa bencana tidak hanya karena faktor alam, tetapi juga dipengaruhi oleh struktur sosial yang timpang dan antroposen, kita bisa mulai merancang kebijakan yang lebih adil, berkelanjutan, dan benar-benar berpihak pada masyarakat rentan yang dipahami berdasarkan konstruksi sosial masyarakat. Karena itu, keberhasilan penanggulangan bencana tidak diukur dari seberapa canggih teknologinya, tetapi dari seberapa inklusif prosesnya. Apakah semua suara didengar? Apakah solusi yang diberikan benar-benar menjawab kebutuhan mereka yang paling terdampak? Dengan mengintegrasikan sosiologi, penanggulangan bencana bukan hanya menjadi respons, tetapi juga upaya membangun masyarakat yang lebih tangguh dan berdaya.
ABOUT AUTHOR
